Background

Minggu, 25 Desember 2011

Antara Ibu dan "Sahabat"

Perlahan tapi pasti aku berjalan menuju sesosok pria berpostur tegap, berkulit putih, dan berambut agak kepirangan. Malam ini dia berpakaian sangat rapi, rambut yang biasa dibiarkan kini terlihat lebih terurus, dan paduan kemeja dengan celana yang mulai pudar tak mengurangi sedikitpun ketampanan pemiliknya saat ini.
“Sudah siap tuan puteri?” tanya Rian padaku sembari membungkukkan badan bak seorang pangeran.
“Yap.. Lets go!” jawabku mantap sambil menarik lengan Rian menuju mobil yang akan membawa kami ke pesta Anniversary orang tuanya di daerah puncak Bogor.
Di perjalanan seperti biasa Rian membuat lelucon-lelucon konyol yang sukses mengocok perutku. Sudah sepuluh tahun kami bersama, tak heran banyak orang mengira kami mempunyai hubungan istimewa. Tapi bagiku ini lebih dari sekedar istimewa, ini luar biasa yang belum tentu semua orang menemukan arti “Persahabatan”.
Tanpa sadar kami sudah sampai di sebuah villa yang hampir seluruhnya terbuat dari kayu jati, di sampingnya terdapat kolam renang, dan banyak pohon-pohon yang membuat suasana terlihat sangat asri. Dua buah senyuman yang tak asing lagi menyambutku di depan pintu villa, ya dia Pak Susilo dan Ibu Rosela, orang tua Rian. Malam ini tidak banyak yang datang namun cukup menghadirkan suasana kekerabatan yang dekat.
"Farah, aku bosan di sini. Bagaimana kalau kita berkeliling villa?" tanpa menunggu jawabanku, Rian langsung menarik tanganku dan membawaku ke taman belakang.
"Rian, aku takut.. Di sini gelap."
"Farah, di sini tidak gelap.. Coba kamu lihat di langit."
Aku termenung melihat bintang-bintang bertaburan serta sang bulan terlihat terang memamerkan cahayanya.
"Sekarang kamu lihat ke bawah sana." menunjuk ratusan lampu-lampu penduduk di antara malam yang menyelimuti desa malam ini.
"Farah? Bagaimana tempat ini?" tanya Rian dengan senyum yang membuat hati seseorang di sampingnya berdegup sangat kencang.
"Amazing Rian!"
"Farah?"
"Ya? Kenapa?"
"Kamu cantik malam ini."
Sejenak aku mendadak terdiam setelah mendengar kata-kata Rian yang terlontar begitu saja. Baru pertama dia semelow ini. Untuk sekian lama kami memandang langit dan merebahkan tubuh kami pada bukit-bukit kecil bererumputan hijau.
"Rian, aku ingin pulang sekarang."
Dia hanya menganggukan kepala dan tersenyum yang sekali lagi membuat hatiku berdegup sangat kencang. Setelah berpamitan dengan Pak Susilo dan Ibu Rosela aku diantar Rian menuju rumah. Mungkin karna aku terlalu lelah aku tertidur pulas di mobil sampai aku di bangunkan ketika sudah berada di depan rumah. Beruntung hari ini Ibu sedang keluar kota, jadi Rian bisa mengantarku sampai depan rumah.
Sejak Ayah meninggal tiga bulan lalu, Ibu melarangku untuk berdekatan dengan Rian. Dua kenyataan yang tak pernah kubayangkan. Kehilangan sosok seorang Ayah yang sangat aku cintai dan seorang sahabat yang sejak lima tahun telah mengisi sebagian lembaran hariku. Saat itu emosiku tak terkendali, aku berontak terhadap Ibuku yang secara sepihak mengambil keputusan. Tentu saja ini tidak dapat ku terima, bahkan untuk memberi alasanpun tidak. Aku marah, nadaku bicara beradu dengan nada bicara Ibuku dan akhirnya sebuah tamparan tepat mendarat di pipiku yang mengakhiri perdebatan kami.

ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo

Sinar matahari yang mengenai wajahku tak cukup untuk menjauhkan badan ini dari tempat tidur. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Rian mengirimiku sebuah message.
FARAH.. AYO BANGUN!
AKU SUDAH BERADA DI SAMPING RUMAHMU.
SUDAH SETENGAH JAM AKU MENUGGUMU
Cepat-cepat aku bangun dari ranjang tidurku untuk bersiap-siap pergi ke danau yang hanya beberapa kilometer dari rumahku dengan mengenakan kaos bergambar Snoopy dan celana tiga perempat aku berlari menghampiri Rian yang sedang terlihat jengkel duduk di bawah pohon. Setelah aku meminta maaf, kami bergegas pergi ke danau.
Sesampainya di danau wajah Rian mendadak berseri, seperti anak kecil yang baru mendapatkan permen. Hari ini danau terlihat sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang menikmati susana danau. Kami berjalan mengelilingi danau, banyak pohon-pohon rindang nan hijau tumbuh di sini, warna danau ini agak kehijauan namun bening. Dari kejauhan terlihat sepasang angsa putih sedang menyusuri danau.
"Tempat ini tidak berubah sejak kita pertama bertemu." kata Rian membuka percakapan kami. Lalu ku respon dengan senyuman dan tatapan tertuju pada arena anak-anak yang sengaja dibangun untuk para pengunjung.
Seharian kami berada di sini, satu hal yang menjadi kebiasaan kami sebelum pulang yaitu memandang sunset dari bukit paling tinggi di sekitar danau. Sunset sudah berakhir, aku dan Rian berjalan menuju sepeda yang menjadi transportasi kami sejak tadi pagi.
Aku setengah tak percaya Ibu sedang menunggu kami di samping rumah. Perasaanku sungguh tidak enak. Ditambah wajah Ibu yang menandakan bahwa ia sedang marah.
"Keterlaluan! Sudah berani rupanya kamu menentang perkataan Ibumu sendiri ! Hah! Jawab Farah!"
 Aku bergetar mendengar Ibu bicara, hingga tak ada satupun kata yang terucap dari mulutku yang seolah membeku. Tiba-tiba dengan kecepatan tinggi sebuah mobil menuju ke arah kami. Itu adalah mobil orang tua Rian! Pak Susilo dan Ibu Rosela menghampiri Ibuku.
Ibu yang sejak tadi sudah emosi, melihat orang tua Rianemosi  Ibupun mengalami puncaknya.
“Dasar Pembunuh! Bajingan! Kalian yang membuat suamiku bunuh diri!”
Mata Ibu membelalak dan menatap tajam dua orang di hadapannya.
“Kau salah paham. Bukan kami yang membunuh suamimu. Suamimu adalah pengusaha hebat, namun dia telah salah mengambil keputusan. Pada saat itu perusahaan kami hanya menjadi saksi dalam pertemuannya daengan perusaahn lain. Tidak disangka perusahaan itu mengambil seluruh aset perusahaan suamimu. Kami sudah berusaha membantu perusahaan suamimu, tapi itu percuma. Suamimu tak ingin kau tahu kondisi perusahaanya yang memburuk. Ia mendapat tekanan dari berbagai pihak atas perkembangan perusahannya yang semakin memburuk. Batinnya tidak sanggup menerima kenyataan dan akhirnya melakukan bunuh diri.” jelas Pak Susilo dengan tenang.
“Kau pembohong!” nada suara Ibu merendah dan terlihat bulir-bulir air mata membasahi sedikit bagian pipinya.
“Sudah cukup! Aku tak ingin mendengar kalian bicara lagi!” akupun angkat bicara dan berlari meninggalkan mereka dengan perasaan yang sangat berkecamuk. Air mataku tumpah pada malam itu. Aku mengurung diri untuk menenangkan segala perasaan dan pikiranku yang sungguh menyesakkan dada. Aku tak percaya Ayah bunuh diri, sebab kata Ibu Ayah meninggal dunia karena sakit jantung yang dideritanya. Aku tak tahu secara pasti penyebab kematian Ayah, karena saat itu aku sedang tidak berada di rumah.
Sudah satu hari aku mengurung di kamar, Ibuku sudah berkali-kali memaksaku keluar namun aku tidak mengindahkan sama sekali. Merasa telah dibohongi, dikhianati, dan ditinggalkan. Itulah yang aku rasakan.
“Farah, Ibu minta maaf telah membohongimu. Ibu menyesal melakukannya. Ibu mohon Farah… buka pintunya.”
Aku tahu Ibu menangis mengatakan itu, aku pun sebenarnya tak tega membiarkan Ibu terus memohon dan menangis. Akhirnya ku bukakan pintu untuknya. Ibu memelukku sangat erat. Sudah lama aku tidak merasakan pelukan sehangat ini.
“Ibu minta maaf. Ibu berbohong tentang penyebab kematian Ayahmu. Ibu melakukan itu karena Ibu tak ingin membuatmu semakin sedih. Tidak hanya kamu yang kehilangan Ayahmu secara tiba-tiba, Ibu juga merasakan itu. Maafkan Ibu yang telah melarangmu berdekatan dengan Rian demi keegoisan Ibu sendiri. Ibu menyesal...”
Kami berpelukan sangat lama, ku lepaskan pelukannya dan ku cium keningnya. Ibupun tersenyum melihat tindakan yang dilakukkan anasknya Tiba-tiba suara handphone-ku berdering. Rian mengirimiku message…
SUDAH SELESAI PELUKANNYA?
AKU SENANG MELIHATMU MENCIUM KENING IBUMU.
Aku kaget Rian mengetahui apa yang barusan terjadi. Mataku menyapu seluruh ruangan mencari-cari keberadaan Rian. Ternyata sedari tadi dia mengumpat di balik tembok. Akan tetapi aku juga heran, entah kenapa hari ini Rian terlihat berbeda. Ia mengenakan kemeja dan membawa rangkaian bunga mawar berwarna putih. Dengan perlahan ia mendekatiku, lalu membisikkan…
“Aku mencintaimu Farah...”
Dia memberikanku rangkaian bunga yang sejak tadi di pegangnya. Mulai saat itu hubunganku dengan Ibuku da hubungan Ibuku dengan keluarga Rian membaik. Begitupun dengan hubunganku bersama Rian semakin membaik.